Telah lama aku pergi, berpetualang. Bahkan tak memberimu kabar. Aku rasa, kau telah melupakanku.
Aku hanya almuni mahasiswa yang ber-IPK pas-pasan. Mendapat beasiswa lebih sering diisukan karena orang dalam tanpa melihat usahaku saat mendapatkannya. Dikampus aku bukan mahasiswi populer, masuk organisasi hanya numpang nama. Aku yakin, kau sudah melupakanku, dan semestinya juga begitu.
Aku ingat janjiku dulu. Kau masih ingatkan, betapa indahnya tanganku, menulis tanda tangan di atas materai. Jika tak salah, aku harus mengabdi kepadamu selama satu tahun.
Maaf, bila hari ini, aku terkesan menganggumu. Kabar viral tentang seorang anak pertiwi, penerima beasiswa yang dianggap tak beretika oleh pemerintah mengingatkanku kepadamu, hingga ingin menyapa kembali melalui tulisan sederhana di media tak seberapa ini.
Lewat satu atau dua paragraf surat ini aku ingin menjelaskan perihal rindu yang secara tidak sengaja kembali menyentuh hatiku. Mungkin lebih tepatnya, Tanggungjawab.
Dengan berat hati, aku harus menceritakan suatu moment. Iya, kenangan setelah masa study-ku selesai. Aku sedih karena semua hal tentang kamu, seolah hilang setelah itu. Seakan tanggungjawabmu selesai. Dan aku menjadi pengecut yang tak memenuhi Janjiku.
Padahal, aku ingin mengucapkan terimakasih karena selama 4 tahun, kau menjadikanku seseorang yang spesial dengan semua perlakuanmu. Kenyataannya kamu tak peduli. Yang penting tugasmu selesai membiayaiku.
Kau harus tahu, ijazahku ditahan karena aku belum bisa membutikan ke kampus bahwa aku sudah mengabdi.
Pengabdian seperti apa yang kau inginkan itu?
Aku datang ke Dinas, justru diberi intruksi untuk datang ke Dinas ketenagakerjaan yang tak ada hubungannya sama sekali dengan pengabdian dan perjanjian kita dulu.
Hingga beberapa kali aku datang ke Dinas, mereka memberi aku surat untuk mengambil ijazah ke kampus. Setelah itu, aku harus mengabdi satu tahu, dan hingga saat ini aku tidak tahu pengabdia apa yang harus diberikan, kupikir cukup dengan menjadi warga negara yang baik, taat pajak taat administrasi, ternyata tidak, bahkan aku kalah dengan mereka yang tak memiliki beasiswa tapi mamih papihnya ada di dalam kantor-kantormu.
Sampai detik ini, di mana kaki ini masih bisa melangkah menapaki jejak-jejak yang kau tinggalkan, aku masih selalu mengingatmu, mengingat tanggungjawabku. Apa yang harus aku lakukan?
Baca juga artikel terkait Beasiswa atau tulisan menarik lainnya dari Neng Khusnul.
Komentar