Kita semua tahu, di atas planet bumi ini, terdapat banyak sekali ragam makhluk hidup. Kita mengenalnya sebagai flora (tumbuhan) dan fauna (hewan). Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka berbagi tempat tinggal di planet bumi ini dengan kita sebagai manusia.
Hewan, tumbuhan, dan manusia juga berbagi tanah dan air untuk melangsungkan kehidupannya masing-masing, bahkan ketiganya saling membutuhkan, sehingga yang diperlukan adalah sebuah keseimbangan.
Bisa kita lihat; tanpa pohon trembesi atau beringin, tidak akan ada penyerapan karbondioksida yang berdampak melubangi lapisan ozon. Tanpa cacing, tanah tidak akan gembur. Tanpa pohon cempedak, tidak akan ada tahanan erosi (longsor) akibat hujan deras.
Tanpa kotoran sapi, tidak akan ada pupuk organik. Tanpa pohon damar dan akasia, tidak akan ada penghasil oksigen yang cukup besar. Tanpa bakteri, tidak akan ada penguraian di dalam perut bumi. Begitulah seterusnya. Meski boleh jadi sebuah catatan, nyatanya, tanpa keberadaan manusia, flora dan fauna akan baik-baik saja, justru manusialah yang benar-benar membutuhkan tumbuhan dan hewan, sehingga dalam kondisi ini, kata ‘Lestari’ yang diucapkan manusia dituntut untuk benar-benar direalisasikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lestari berarti ‘tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah; bertahan; kekal’ dan itulah yang menjadi benang merah untuk keseimbangan yang dimaksud. Maka istilah konservasi—yang diuraikan dalam KBBI sebagai ‘pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian’—menjadi satu-satunya cara manusia untuk menjaga segala yang ada di atas planet bumi ini agar tetap lestari; kekal; tetap; tidak punah; bertahan; dan seterusnya.
Konservasi ini pada akhirnya menjadi “etika” manusia dalam menggunakan sumber daya alam, baik dalam sektor perdagangan, pariwisata, maupun penggunaan lahan. Oleh karena itu, mari kita mulai sederhanakan saja.
Konservasi
Dahulu, pada zaman kerajaan 300-200 SM, seorang Raja bernama Asoka di wilayah yang kita kenal sekarang sebagai India, mengumumkan kepada masyarakatnya bahwa perlindungan terhadap binatang liar dan hutan perlu digalakan, sehingga ia menunjuk kawasan-kawasan tertentu untuk dilindungi. Sedangkan di tanah air kita—sebelum menjadi Indonesia tentunya—kerajaan-kerajaan kecil di sini menunjuk serta memperkenalkan ‘hutan larangan’, yang jika dimasuki oleh sembarang orang, akan terkena sanksi seperti kesurupan, tidak akan kembali, penyakit, dan lain sebagainya. Pada saat itu, pola-pola senada pun digaungkan oleh bangsa-bangsa lain di seluruh muka bumi, seolah kesadaran manusia terhadap kelestarian alam raya benar-benar tinggi.
Hari ini, pola-pola semacam itu kita kenal sebagai ‘konservasi’, yang pada ketentuan hukum negara kita sekarang termaktub dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Undang-undang tersebut membagi dua kawasan konservasi menjadi;
- Kawasan Suaka Alam (selanjutnya disebut KSA) yang meliputi:
- Cagar Alam
- Suaka Margasatwa
- Kawasan Pelestarian Alam (selanjutnya disebut KPA) yang meliputi:
- Taman Nasional
- Taman Hutan Raya
- Taman Wisata Alam
Undang-undang tersebut merumuskan bahwa KSA hanya ditujukan untuk “penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan,” sedangkan KPA hanya diperuntukan untuk “menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi”.
Dalam hal ini, negara melarang segala kunjungan manusia yang bertujuan untuk kemping, kegiatan offroad, pariwisata, dan lain sebagainya di luar penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan di wilayah KSA (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa). Salah satu akibat jika kita mengabaikan larangan tersebut, kira-kira sederhananya begini:
Satu, kedatangan manusia ke KSA dapat mengganggu mangsa macan yang dilestarikan di sana, sehingga si macan kekurangan makanan dan turun ke pemukiman, kemudian jadi ancaman bagi masyarakat. Pilihannya, dibunuh karena meresahkan, atau mati kelaparan karena mangsanya habis terusir kegiatan yang ‘tidak diperlukan’ di dalam kawasannya.
Dua, pada bidang edukasi, pendidikan dasar survival di Cagar Alam dan Suaka Margasatwa juga sangat merugikan habitat di sana. Manusia, berebut mangsa dengan hewan-hewan yang berada di sana untuk kebutuhan pendidikan survival. Bukankah itu lucu?
Tiga, dalam kasus lain, Owa Jawa, yang enggan reproduksi jika terganggu oleh bising manusia, akan segera menghadapi kepunahan selama intervensi besar-besaran manusia terhadap habitat-habitat tersebut dibiarkan begitu saja. Belum lagi dampak geologis dan lain sebagainya.
Analogi (pengandaian) yang lebih sederhana lagi, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa merupakan kota bagi mereka; flora dan fauna. Seperti kota Bandung bagi manusia. Kita—manusia—hanya akan jadi “binatang buas” bagi flora-fauna di Cagar Alam. Kita hanya akan jadi hama yang mengganggu ladang makan mereka. Kita, hanya jadi pengganggu dan peresah mereka dalam berkoloni di tengah rimba sana. Dan, kita, sepatutnya tahu batasan-batasan mana saja yang boleh kita kunjungi.
Khalifah di Muka Bumi
Akan tetapi, kini zaman benar-benar berubah. Sanksi yang dikenakan ketika kita memasuki Cagar Alam merupakan denda ratus jutaan rupiah atau dijebloskan ke penjara.
Sayangnya, keseriusan penegak hukum atas larangan ini belum cukup serius. Buktinya, masih banyak orang yang leluasa berkunjung ke Cagar Alam dan mengunggahnya di akun media sosial mereka. Tak jarang, foto-foto keindahan danau Ciharus, hamparan rumput Tegal Panjang, Gunung Krakatau, dan masih banyak lagi, dengan mudahnya dipertontonkan oleh para pegiat alam bebas sebagai bukti bahwa mereka telah mengunjunginya. Lantas, apa pangkalnya? Apakah ketidakpedulian mereka atau ketidaktahuan mereka? Jika memang begitu, berarti ada kesalahan/kekurangan pada sosialisasi dan/atau penegakan UU No. 5 Tahun 1990 oleh pemerintah terhadap masyarakat mengenai KSA dan KPA ini.
Lebih lucu lagi, kegiatan open trip yang sempat ramai digelar oleh akun-akun kepegiatalambebasan, beberapa kali berlokasi di Cagar Alam, dan mereka memiliki SIMAKSI (Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi) dari BBKSDA setempat. Bukankah open trip tidak mengandung penelitian? Bukankah mereka hanya bertujuan kemping ‘haha-hihi’ saja? Mengapa BBKSDA sampai bisa menurunkan surat izin tersebut?
Dalam hal agamis, sebagai manusia, yang notabene diturunkan Sang Maha Pencipta ke bumi sebagai pemimpin (khalifah), pelestarian merupakan tindak-tutur keadilan terhadap lingkungan hidup dari sesosok pemimpin yang disematkan Tuhan kepada manusia. Barangkali begitu. Maka yang perlu dititik-beratkan adalah, kesadaran kita sebagai masyarakat terhadap konsep wilayah dalam sudut pandang negara yang kita huni.
Kita tidak hanya cukup mengenal kota dan alam liar saja. Kota untuk manusia dan yang mampu mengunjungi hutan-gunung-laut adalah orang-orang petualang yang hebat. Tidak seremeh-temeh itu. Hutan pun memiliki wilayahnya sendiri, yang ditunjuk dan dipertimbangkan demi kelangsungan pelestarian flora dan fauna. Bahkan sebagiannya, memiliki konsep adat yang dilindungi kearifan lokal penghuni aslinya seperti suku-suku yang secara turun-temurun mendiaminya.
Entah-berantah atau pelosok atau rimba tersebut yang sebagian dari kita memandangnya sebagai “wilayah tak terjamah” atau “alam liar”, memiliki kawasannya sendiri, dan itu bukan entah-berantah bagi para penghuni aslinya (flora dan fauna). Pedalaman hutan sekitar sabana Tegal Panjang yang indah itu misalnya, bukan entah-berantah bagi harimau yang mendiaminya.
Mengunjunginya hanya dengan carrier yang dikemas sedemikian rupa, ditambah logistik dan peralatan petualangan untuk beberapa hari beserta ilmu navigasi serta teknik survival yang mumpuni, kemudian keluar dengan selamat dari tempat itu dan berbangga hati sebagai seorang petualang sejati, tidak berarti apa-apa terhadap seruan “salam lestari” sambil mengacungkan kepalan tangan ke udara.
Kita semua perlu sadar akan hal itu, karena Tegal Panjang merupakan kawasan Cagar Alam yang tidak boleh diintervensi manusia. Dengan kata lain, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa adalah tanah waqaf yang kita berikan demi kelestarian lingkungan. Segagah atau sekeren apapun kita mengunjungi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, hal tersebut sama saja seperti sebuah lokomotif yang melaju ke pemukiman warga dan menghancurkan semuanya.
Manusia yang kuat laiknya lokomotif, namun bergerak maju tanpa rel, sehingga merusak segala apa yang dilaluinya. Rel tersebutlah yang kita kenal sebagai UU No. 5 Tahun 1990.
Konklusi
Maka dari itu, sepatutnya kita semua mengetahui, mana saja kawasan-kawasan tersebut. Minimal, kita memahami betul, kawasan apa yang hendak kita tuju sebelum melakukan aktivitas petualangan. Apakah KSA atau KPA?
Jika itu KSA, lebih baik urungkan niat, karena faktanya, tidak ada yang peduli/tidak tahu, mana KSA dan mana KPA. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi? Ketidakpedulian/ketidaktahuan semacam itu sudah bisa kita temukan di beberapa media cetak ternama.
Dengan lugasnya, mereka memuat tulisan-tulisan petualang kawakan yang mengunjungi Cagar Alam dengan embel-embel “surga tersembunyi” misalnya. Seperti sebuah pertanyaan di atas, “apa pangkalnya? Ketidakpedulian mereka atau ketidaktahuan mereka?”
Dalam hal ini, sekelas pemerintahan sendiri rasanya belum pernah memberikan pendidikan kawasan konservasi kepada masyarakat. Atau organisasi-organisasi kepencinta-alaman yang membuka forum terkait kawasan ini. Senyata-nyatanya, hampir semua dari kita ini tidak menyadari betul bahwa di luar sana, terdapat “tanah-tanah waqaf”—yang kita kenal sebagai kawasan konservasi—yang benar-benar tidak boleh kita kunjungi demi terlindungnya kita dari bencana alam. Itu baru di ranah kemasyarakatan, apalagi di ranah pemerintahan dan industri?
Apakah perusahaan-perusahaan raksasa seperti perusahaan pertambangan, industri penebangan kayu, perusahaan perkebunan dan sebagainya mengetahui eksistensi “tanah-tanah waqaf” ini? Jika para penggiat alam saja tidak mengetahuinya, apa kabar kaum-kaum pengusaha tersebut?

Baca juga artikel tentang Komen atau tulisan menarik dari Jalu Kancana lainnya
Penulis: Jalu Kancana
Editor: Rais Jaka
Komentar