Kesepakatan kerjasama antara Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Gubernur People’s Bank of China (PBC) membuat kini transaksi penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung (Local Currency Settlement/LCS) menggunakan mata uang lokal.
Kesepakatan antara Yi Gang selaku Gubernur People’s Bank of China (PBC) dan Perry Warjiyo selaku Gubernur Bank Indonesia (BI) ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman.
Kerjasama tersebut memperluas kerangka kerjasama LCS yang sebelumnya sudah dilakukan antara Bank Indonesia dengan Bank of Negara Malaysia, Bank of Thailand, dan Kementerian Keuangan Jepang.
Kesepakatan tersebut diharapkan dapat mendorong penggunaan mata uang lokal dalam menyelesaikan transaksi perdagangan dan invetasi kedua belah pihak.
“People’s Bank of China dan Bank Indonesia sepakat untuk mendorong penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi langsung,” ujar Direktur Eksekutif Komunikasi BI Onny Widjarnako di Jakarta, Rabu (30/9), yang dilansir dari Detik.com.
Kesepakatan transaksi tersebut meliputi beberapa hal seperti penerapan kuotasi nilai tukar dan perdagangan antarbank baik untuk mata uang rupiah maupun yuan.
“Hal tersebut meliputi, antara lain penggunaan kuotasi nilai tukar secara langsung dan perdagangan antarbank untuk mata uang yuan dan rupiah,” ungkap BI dalam keterangan resmi.
Pengamat: Kerjasama Tidak Akan Bikin Dolar AS Ditinggalkan
Peneliti Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira yang dilansir dari Detik.com mengatakan bahwa kerjasama Indonesia dengan China tidak serta merta membuat dollar AS ditinggalkan. Sebab ada beberapa komoditas yang masih mengguan acuan dari USD.
“Sebenarnya tidak sim salabim ya langsung dolar AS ditinggalkan. Karena beberapa komoditas ekspor ke China saja misalnya nikel dan olahan nikel menggunakan harga acuan dolar per ton nya. Ini urusan B2B di mana pelaku usaha mau menggunakan mata uang selain dolar kalau ada insentifnya,” kata Bhima.
Bhima juga menambahkan bahwa saat ini yang menjadi tantangan yakni ketersedian dari Yuan itu sendiri khususnya pada daerah pertambangan dan perkebunan dengan orientasi ekspor. Apabila ketersediaan terbatas maka pengusaha akan lari ke USD.
“Tantangan lain juga penggunaan kapal asing untuk ekspor impor sangat dominan, ada 90% aktivitas ekspor impor yang menggunakan kapal asing. Apakah mereka mau terima rupiah dan yuan meskipun tujuan ke China? Belum tentu. Mereka maunya bayar menggunakan dolar. Ini yang harus dicari jalan keluarnya,” jelas Bhima.
Baca juga artikel terkait Bank Indonesia atau tulisan menarik lainnya dari Agas Kuswandi.
Komentar